SEJARAH MUNCAR
Muncar, merupakan salah satu kecamatan yang ada di
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kecamatan ini terletak di bagian timur
kabupaten Banyuwangi, + 35 km dari jantung kota Banyuwangi dan
berbatasan dengan selat Bali. Terdapat 10 desa dalam kecamatan ini dengan luas
keseluruhan +8.509,9 ha. Kecamatan Muncar adalah sebuah kecamatan sebagai
penghasil ikan laut terbesar di kabupaten Banyuwangi dan propinsi Jawa Timur.
Selain itu di kecamatan ini merupakan sentra penghasil semangka terutama di
desa Tembokrejo dan Bangorejo. Namun sejak tahun 2010 kinerja dan hasil
penangkapan ikan kawasan ini mengalami penurunan.
Mengapa daerah penghasil ikan ini diberi nama
Muncar? Apa yang melatarbelakangi terbentuknya nama tersebut? Berikut adalah
beberapa pendapat mengenai asal mula terbentuknya nama Muncar.
Menurut HR. Suparjo Denowo, penduduk asli Kecamatan
Muncar, dusun Muncar berasal dari dua kata, yaitu “Monco” (bahasa jawa) dan “Mancah”
(bahasa Madura) yang artinya bermacam-macam. Hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa semua penduduk di dusun Muncar adalah pendatang dari berbagai suku atau
ras. Sebagian berasal dari Sulawasi Selatan (suku Bugis), Madura, dan beberapa
daerah di wilayah Jawa.
Menurut Pak Syamsuri, mantan kepala KUA kecamatan
Muncar. Muncar berasal dari kata “Muncrat”
(bahasa Jawa), yang artinya adalah keluarnya ikan-ikan dengan jumlah yang luar
biasa banyak dari laut yang terletak di sebelah timur derah Muncar. Hal ini
terbukti dengan tersohornya Muncar sebagai kota penghasil ikan terbesar di Jawa
Timur dan mayoritas penduduk di daerah ini adalah Nelayan.
Berbeda dengan pendapat HR. Suparjo Denowo dan
Syamsuri. Pak Sholihin, Mudin dusun Muncar mengatakan bahwa Kata Muncar berasal
dari kata “mencar” (bahasa jawa)
yang berarti pisah (sebagian menuju suatu tempat dan sebagian lagi menuju suatu
tempat yang berbeda). Hal ini masih ada kaitannya dengan peristiwa peperangan
antara Minak Jinggo dan Damar Wulan. Setelah Damar Wulan menang, pasukan Damar
Wulan beristirahat di tempat yang sekarang bernama Muncar. Di tempat itu muncul
perbedaan pendapat antara pasukan-pasukan Damar Wulan. Sehingga sebagian dari
pasukan kembali ke kerajaan lewat selatan dan sebagian lewat utara, sampai
akhirnya muncullah perpecahan.
Menurut Bapak Saleh (64 tahun), salah satu penduduk
asli Muncar yang berprofesi sebagai nelayan, mengungkapkan bahwa nama Muncar
erat hubungannya dengan nama Blambangan, Sebuah kerajaan yang letaknya kurang
lebih 1 km di sebelah utara Muncar tepatnya berada di Desa Tembokrejo.
Bekas-bekas peninggalan keraton yang tingginya berukuran 1 m dan kelilingnya
kurang lebih 10 ha, di dalam bangunan ini tedapat Sembilan batu yang berlubang
di tengah, batu yang berlubang tersebut
berfungsi sebagai umpak atau penyangga. Umpak tersebut sebagai dasar atau alas
dari tiang istana kerajaan Blambangan, oleh sebab itu situs itu dinamakan umpak
songo (Sembilan penyangga). Situs ini ditemukan pada kedalaman 1-0,5 meter dari
permukaan tanah, membentang dari masjid pasar Muncar hingga area persawahan
desa Tembokrejo. Diduga istana ini adalah peninggalan Blambangan pada saat ibu
kota pindah ke Muncar. Disebelah timur ompak songo, tepatnya di sebelah timut
pertigaan pasar Muncar terdapat sebuah bangunan yang bernama Siti Hinggil (setinggil)
yang memiliki makna “tanah yang ditinggalkan”. Pada zaman dahulu bangunan ini
digunakan oleh Minak Uncar (utusan
dari Minak Jinggo) untuk mengintai musuh. maka dari itu kawasan di sekitar
bangunan tersebut di beri nama Muncar.
Itulah beberapa pendapat mengenai asal usul nama
Muncar. Perlu di catat bahwa pada awalnya Muncar bukan sebagai Kecamatan Muncar,
melainkan Dusun Muncar.
MATA AIR MBAH KOPEK .
MATA AIR MBAH KOPEK .
LOKASI sumber air Mbah Kopek di tengah persawahan Dusun Sumberjoyo, Desa Kumendung, Kecamatan Muncar. Menuju ke tempat itu harus melewati pemakaman umum. Meski demikian, tidak sulit mencarinya, karena tempat itu sudah terkenal.
Nama mata air Mbah Kopek tentu sedikit
aneh di telinga. Dari cerita yang berkembang, nama itu leluhur yang
mendirikan desa. Makam Mbah Kopek berada tidak jauh dari lokasi sumber
air tersebut. Pesarean Mbah Kopek juga cukup dikenal.
Selama ini sering didatangi peziarah
dari berbagai daerah di tanah air. Bahkan, hampir bisa dipastikan
setiap malam Jumat Legi tempat itu dipenuhi peziarah lengkap tumpeng.
“Jika punya hajat, warga sering menggelar kenduri di sumber Mbah Kopek
ini,” ujar Ki Joko Gondrong, sesepuh warga setempat.
Pelaksanaan kenduri di kompleks pesarean
yang lokasinya berdekatan dengan sumber Mbah Kopek itu perwujudan
budaya yang diwariskan leluhur yang dikenal dengan tradisi pamit.
Seperti anak yang akan berangkat sekolah, mereka pamit dan meminta
restu.
“Tak ada niat lain, hanya acara
selamatan dan melestarikan budaya pamit kepada leluhur,” imbuhnya.
Meski terik matahari menyengat, sekitar lokasi sumber Mbah Kopek tetap
rindang dan sejuk. Maklum, di tempat itu masih berdiri kokoh tiga pohon
besar, yakni dua pohon beringin dan satu lagi pohon bendo yang
menjulang tinggi.
Lokasi sumber air Mbah Kopek juga
lumayan luas, cukup untuk parkir mobil dan motor. Di sisi kanan jalan
masuk ada pesarean dan di sebelah timur pintu masuk terdapat dua gazebo
yang di bawahnya mengalir sungai dari sumber air Mbah Kopek.
Akses menuju mata air Mbah Kopek sangat
mudah, dan telah dibangun anak tangga dengan tinggi sekitar empat
meter. Jika dilihat dari atas, yang tampak berupa bangunan mirip
rumah. Namun, jika didekati di bawah bangunan mirip rumah itu mengalir
sumber yang mengucur deras dari sela-sela bebatuan sekitar pohon.
“ Dibangun mirip kolam dan diberi atap
agar sumber tetap bersih dan tidak tercemar,” ujar Subahrudin, 45, warga
setempat. Keberadaan sumber air Mbah Kopek sangat terawat dengan
baik. Apalagi, tempat itu tidak pernah sepi dari kunjungan warga.
Mereka yang datang itu tidak hanya dari
Banyuwangi, tapi juga banyak dari luar daerah, seperti Bali, Kediri,
Jogjakarta, Lampung, Kalimantan, dan berbagai daerah lain di
Indonesia. Sumber air Mbah Kopek yang jernih dan bersih mengalir deras
meski di musim kemarau panjang itu banyak digunakan warga untuk berbagai
kebutuhan.
Bahkan, saking jernihnya, banyak warga
mengambil air bersih itu langsung diminum tanpa dimasak. “Airnya lebih
segar daripada air minum kemasan bermerek yang dijual di toko,” tutur
Subahrudin. Jika musim kemarau berkepanjangan, warga sekitar juga
melakukan tradisi yang disebut mantu kucing.
Ritual itu, juga dilaksanakan di sumber
air Mbah Kopek. Mantu kucing yang dilaksanakan warga, itu layaknya
pengantin. Prosesi mantu kucing diawali dengan mengarak sepasang
kucing jantan dan betina berkeliling kampung dengan dua buah tandu yang
dipikul oleh warga. Arak-arakan pengantin kucing itu, lantas berhenti
di sekitar kompleks pesarean Mbah Kopek.
Di tempat ini, sepasang kucing diusung
menuju mata air. Setelah sampai di sumber air, kurungan (sangkar)
kucing dibuka lalu diceburkan ke dalam kolam bersama-sama dengan para
pengiring pengantin. Ritual itu sebagai puncak mantu kucing yang konon
diyakini mampu mendatangkan berkah berupa hujan.
“Tradisinya seperti itu, dan sudah
berlangsung sejak lama secara turun temurun,” terangnya. Sumber air
Mbah Kopek yang tidak pernah surut, oleh warga Desa Kumendung dan Desa
Sumbersewu, Kecamatan Muncar juga dibuat untuk mengaliri persawahan.
“Luas pertanian yang bisa dialiri dari sumber air Mbah Kopek itu
sekitar 49 hektare,” sebut Kepala Desa Kumendung, Mohammad Husaini.
(radar).
PURA AGUNG BLAMBANGAN .
Pura Agung Blambangan, Saksi Sejarah cikal bakal umat hindu di Pulau
Bali. Pura tertua dan sekaligus termegah ke dua di Jawa ini, bertempat
di kecamatan muncar, kurang lebih 30 km dari kota Banyuwangi.
Peninggalan
purbakala “umpak songo” serta pelabuhan ikan muncar tidak jauh dari
pura agung blambangan ini. Pura ini selalu ramai dikunjungi umat hindu
dari berbagai daerah. Di pura ini pula biasanya upacara kuningan yang
diadakan umat hindu sebagai kemenangan dharma di pusatkan. Pura Agung
sangatlah penting bagi umat hindu di indonesia, selain tempat
bersejarah, pura ini juga adalah tempat suci yang disakralkan. Banyak
orang beragama hindu dari luar pulau jawa yang datang. Selain sekedar
berwisata religi, mereka juga para turis asing yang ingin melihat
keindahan struktur pura kuno ini. Obyek pertama yang dikunjungi adalah
Pura Agung Blambangan yang terletak di Desa Tembok Rejo kecamatan Muncar
Kabupaten Banyuwangi.
Pura
ini merupakan Pura terbesar kedua di pulau Jawa setelah Pura Gunung
Salak, yang terletak di Jawa Barat, dan Pura Agung Blambangan tersebut
terbesar dibandingkan 92 buah pura lainnya yang ada di Banyuwangi. Pura
yang berdiri sehak tahun 1974 ini, baru diresmikan pada 28 juni 1980
silam tepatnya hari sabtu wuku Kuningan yang bertepatan dengan hari raya
Kuningan.
Pura
Agung Blambangan memiliki hubungan yang sangat erat dengan kerajaan
Blambangan yang bercorak Hindu di Banyuwangi itu. Kerajaan Blambangan
adalah kerajaan yang berpusat di kawasan Blambangan, yaitu di sebelah
selatan Banyuwangi atau yang lebih dikenal dengan Alas Purwo.
Raja terakhir yang menduduki singgasana adalah Prabu Minakjinggo. Kerajaan ini telah ada pada akhir era Majapahit.
Pura
yang kental dengan Hari Raya Kuningan ini, berdiri bersamaan dengan
waktu piodalan Pura Blambangan. Hal ini cukup menarik minat banyak umat
Hindu asal Bali yang datang untuk berdoa. Piodalan adalah hari lahirnya
Pura Agung Blambangan yang memiliki kaitan sejarah dengan masyarakat
Bali, karena nenek moyang masyarakat Bali sebagian dari kerajaan
Blambangan yang ada di Banyuwangi.
Pura
Agung Blambangan, awalnya merupakan situs umpak songo, peninggalan
zaman kerajaan Blambangan. Pura ini lalu pindah ke tempat sekarang
dengan luas lahan sekitar satu hektar dan bisa menampung sekitar seribu
umat untuk berdoa bersama.
Dari
catatan pengurus, saat ini umat Hindu di Kabupaten Banyuwangi ada
sekitar 17 ribu jiwa ditambah dengan umat Hindu dari Bali jumlahnya
cukup banyak. Di Pura Agung kerap beberapa kali mengadakan
persembayangan yang biasa dipimpin 21 pemangku. Biasanya Umat datang
mulai pagi hingga malam hari, untuk dan dilakukan selama tiga hari untuk
memberikan kesempatan umat yang tidak sempat sembayang saat puncak
perayaan.
Selain
perayaan Kuningan, banyak juga masyarakat Bali yang datang untuk
melakukan wisata religi dari agen tour asal Bali atau dari pemerintah
Bali. Ada juga beberapa wisatawan mancanegara yang datang karena
tertarik dengan struktur bangunan Pura Agung Blambangan yang sangat
indah.
Pura
Agung Blambangan sendiri merupakan pura terbesar diantara 92 buah pura
yang ada di Kabupaten Banyuwangi. Sebagai catatan, untuk masuk ke dalam
pura, pengunjung wajib menggunakan selendang yang diikat pada pinggang..........
MUNCAR BEAUTIFUL.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pura Agung
Blambangan di Banyuwangi Diminati Umat Hindu Bali",
https://regional.kompas.com/read/2016/02/20/22155121/Pura.Agung.Blambangan.di.Banyuwangi.Diminati.Umat.Hindu.Bali.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pura Agung Blambangan di Banyuwangi Diminati Umat Hindu Bali", https://regional.kompas.com/read/2016/02/20/22155121/Pura.Agung.Blambangan.di.Banyuwangi.Diminati.Umat.Hindu.Bali.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pura Agung Blambangan di Banyuwangi Diminati Umat Hindu Bali", https://regional.kompas.com/read/2016/02/20/22155121/Pura.Agung.Blambangan.di.Banyuwangi.Diminati.Umat.Hindu.Bali.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pura Agung
Blambangan di Banyuwangi Diminati Umat Hindu Bali",
https://regional.kompas.com/read/2016/02/20/22155121/Pura.Agung.Blambangan.di.Banyuwangi.Diminati.Umat.Hindu.Bali.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pura Agung Blambangan di Banyuwangi Diminati Umat Hindu Bali", https://regional.kompas.com/read/2016/02/20/22155121/Pura.Agung.Blambangan.di.Banyuwangi.Diminati.Umat.Hindu.Bali.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rac
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pura Agung Blambangan di Banyuwangi Diminati Umat Hindu Bali", https://regional.kompas.com/read/2016/02/20/22155121/Pura.Agung.Blambangan.di.Banyuwangi.Diminati.Umat.Hindu.Bali.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rac
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pura Agung
Blambangan di Banyuwangi Diminati Umat Hindu Bali",
https://regional.kompas.com/read/2016/02/20/22155121/Pura.Agung.Blambangan.di.Banyuwangi.Diminati.Umat.Hindu.Bali.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pura Agung Blambangan di Banyuwangi Diminati Umat Hindu Bali", https://regional.kompas.com/read/2016/02/20/22155121/Pura.Agung.Blambangan.di.Banyuwangi.Diminati.Umat.Hindu.Bali.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pura Agung Blambangan di Banyuwangi Diminati Umat Hindu Bali", https://regional.kompas.com/read/2016/02/20/22155121/Pura.Agung.Blambangan.di.Banyuwangi.Diminati.Umat.Hindu.Bali.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pura Agung
Blambangan di Banyuwangi Diminati Umat Hindu Bali",
https://regional.kompas.com/read/2016/02/20/22155121/Pura.Agung.Blambangan.di.Banyuwangi.Diminati.Umat.Hindu.Bali.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pura Agung Blambangan di Banyuwangi Diminati Umat Hindu Bali", https://regional.kompas.com/read/2016/02/20/22155121/Pura.Agung.Blambangan.di.Banyuwangi.Diminati.Umat.Hindu.Bali.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pura Agung Blambangan di Banyuwangi Diminati Umat Hindu Bali", https://regional.kompas.com/read/2016/02/20/22155121/Pura.Agung.Blambangan.di.Banyuwangi.Diminati.Umat.Hindu.Bali.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati
Saya bangga terlahir di muncar banyuwangi
BalasHapusBagus asal usulnya
BalasHapusnice artikelnya gan
BalasHapusJasa Pengiriman Barang